Setelah Path sudah habis dibaca-baca, pindah ke Twitt (siburung yang berkicau) untuk melihat ada quote-quote apa yang bisa di-retweet. Masih bosan? Pindah lagi ke Instagram untuk sekedar nge-like foto-foto makanan yang cantik dan rata-rata harganya setara uang kos sebulan, sambil nge-post foto-foto yang bisa kita berikan hashtag #latepost atau #throwback atau #foodporn.
|  | 
| sosmed | 
Hidup yang bergantung pada timeline
Sepertinya hidup orang-orang di zaman sekarang ini tidak pernah lepas dari media sosial. Sudah kronis ketergantungannya. Hal ini membawa saya kembali pada sebuah fenomena mengejutkan yang saya temukan di tahun 2014 silam.
Saat itu, saya pergi bersama beberapa rekan kerja untuk melakukan consumer visit di pinggiran kota. Tujuannya untuk mengetahui kebiasaan ibu rumah tangga dalam menggunakan teknologi digital dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Di sana, saya berkesempatan mewawancarai seorang ibu rumah tangga, sebut saja Ibu Ani.
Ibu Ani mengurus rumah tangga dan dua orang anak, sedangkan suaminya mencari nafkah sebagai satpam gedung dan kuli bangunan di sela-sela waktunya. Rumah yang mereka tinggali bisa dibilang sangat kecil, cenderung kotor dan kurang terawat.
Alat-alat elektronik penting yang dapat membantu kegiatan rumah tangga Ibu Ani sehari-hari, seperti televisi dan mesin cuci, sudah rusak dan belum juga direparasi. Alat transportasi yang digunakan keluarga mereka sehari-hari, yaitu sebuah sepeda motor, cicilannya masih belum lunas.
Lalu, tiba-tiba Ibu Ani membuat saya merasa seakan tersambar petir saat ia mengutarakan ke saya bahwa dirinya paling tidak bisa hidup tanpa telepon genggamnya, sebuah Blackberry Gemini. Saya tanya, mengapa? Ternyata karena melalui BB Gemini ini ia dapat mengakses Facebook untuk berkomunikasi dengan teman-teman arisan atau pengajian sekampung.
Saat butuh hiburan, ibu ini menghabiskan waktunya untuk membaca guyonan-guyonan ala Betawi yang ada di halaman Facebook yang ia sukai. Tidak heran, saat rekan saya memberikan pertanyaan follow-up, “Hadiah apa yang ibu harapkan dari kemasan cairan pencuci piring?” Ibu Ani tidak menjawab mobil, perhiasan, atau rumah. Terpatri di ingatan, ekspresi wajah Ibu Ani saat menjawab dengan malu-malu, “Pulsa, mbak. Supaya saya bisa beli paket data.”
Melangkah keluar dari zona nyaman
Fenomena seperti ini yang lalu membuat saya mempertanyakan diri saya sendiri, kemudian merasa tertantang untuk untuk menguji diri saya sendiri. Makanya, saat sahabat saya tiba-tiba bilang “Bisa enggak, cuma menggunakan dua jenis media sosial dalam waktu sebulan?” Dalam hati saya menjawab, “Kenapa tidak sekalian saja hidup tanpa social media dalam waktu sebulan?” I mean, why not? Sepertinya akan jadi pengalaman yang seru. Serta merta saya menjawab, “Ok, I’m in!” dan petualangan baru pun dimulai.
Prosesnya…
Memulai komitmen iseng tetapi menantang yang saya sudah tentukan ini, akhirnya saya menghapus/ uninstall seluruh aplikasi media sosial yang saya miliki. Iya, semuanya. Facebook, Path, Twitter, dan Instagram, tetapi bukan berarti saya boleh mengakses media sosial tersebut lewat platform desktop.
Let me tell you, seminggu pertama hidup saya tanpa media sosial bisa dikatakan cukup menarik. Kedua jempol yang punya muscle memory sangat hebat ini biasanya akan secara otomatis meng-unlock smartphone saya dan membuka folder “Social Media” dan menemukan bahwa… tidak ada aplikasi media sosial.
Kemudian pada suatu pagi yang cerah teman kantor tiba-tiba berkata, “Eh, Net… Tau nggak video soal bla bla yang lagi heboh banget itu di Facebook?” Dan saya cuma bisa bengong karena tidak tahu menahu soal itu.
Tidak jarang saya suka merasa gelisah tidak jelas, pori-pori kulit mengeluarkan butir-butir keringat sebesar biji jagung. Belum lagi, tiba-tiba saya terserang bakteri Typhus dan harus menghabiskan waktu sekitar 10 hari di rumah untuk melakukan istirahat penuh.
“Sempurna sudah penderitaanku,” pikir saya.
Namun dengan semangat yang membara dan motivasi yang ditinggi-tinggikan, saya mencari cara untuk menggantikan “hiburan-hiburan” sehari-hari yang sekarang statusnya di-banned ini.
Masa sih, hidup kebahagiaan saya hanya bergantung pada media sosial?
Jadi, setelah riset mendalam dan merenung sejenak, saya menemukan hal-hal yang dapat saya lakukan:

0 Response to "Begini jika hidup ini tidak ada SOSIAL MEDIA"
Post a Comment